Putar Kembali

Kata demi kata melintas panjang, membelai luka di tengah malam. Bersimbah pikiran yang berangsur-angsur ia gantikan. Tak ada lagi penafsiran berlebihan tentang hal-hal kecil yang memberatkan kepala. Selama ia baik-baik saja, semua menjadi ringan rasanya. Sekian hari terlewatkan dan selalu ada pelajaran, bahwa kebahagiaan itu sesederhana tanda tanya; membawamu ke tempat baru dengan suguhan cerita yang selalu berbeda. Mungkin saja hari ini menjadi bab yang akan kita ceritakan bertahun-tahun mendatang.


Pejamkan mata dan lanjut berjalan. Tiada arah, hanya tujuan. Bisikkan lagi dan lagi agar aku bisa tertidur lelap, segarkan pikiran demi lontarkan doa untukmu esok pagi. Semoga kebaikan di setiap hurufnya selalu menyertaimu. Di akhir hari, kita akan putar kembali.

Semasa

Tanpa suara, kemenangan itu terucap di wilayah Timur ibukota. Tak ada dengki, tak ada yang mengernyitkan dahi. Yang menyerupai hanya sembunyikan sesal dan tetap berlapang dada, menerima kebenaran yang dinilai salah dahulu kala. 


Kata-kata yang melegakan hati tak seharusnya dijadikan senjata pemusnah massal. Setiap benih yang terlontarkan dari kepala hingga ujung bibirmu akan bermekaran di masa depan. Mengembang begitu besarnya hingga menjelma menjadi nyata.


Sejuta tahun cahaya takkan terasa lama jika dinikmati. Untuk mendatangi masa yang ditunggu-tunggu, kita hanya butuh pergi mengendarai waktu, melalui manuver-manuver takdir. Melaju dan kendali, tak bisa kembali.


Aku ingin bercermin dan kenali siapa yang ada di balik tatapan itu. Akan ku ingat-ingat dan lupakan di saat yang bersamaan. Lalu kembali berjalan di lubuk pikiran, menikmati setiap hembusan nafas selagi waktu masih berlaku.

Pesta dalam Kepala

March 7, 2021

Ada pesta dalam kepalaku dan hanya engkaulah tamunya. Tak perlu mengetuk pintu. Silahkan masuk, anggap ini rumahmu; hamparan ruang bermandikan cahaya neon berwarna ungu dengan alunan lagu-lagu yang kau resepkan sebagai obat pengusir rindu. Setiap dindingnya tampilkan butiran mikro-memori, di samping jendela yang dihiasi potongan-potongan adegan di masa depan yang tak kasat mata. 

 

Dari depan, belakang, hingga ke setiap sudutnya adalah milikmu untuk kau telusuri. Menarilah dengan kebebasan yang kau genggam, dengan cara yang kau suka, akan selalu ku ikuti sepenuh hati. Biarkan jemari tanganmu melompat indah di atas tuts-tuts piano yang ku tempatkan di halaman tengahnya. Lontarkan dengan lantang nada suaramu yang setinggi langit. Nyanyikan segala cerita manis dan pahit di hadapan telingaku, yang selamanya terbuka untuk dengar segenap riang tawa dan isak tangismu.

 

Di harimu yang tergelap, biarkan diri ini menjadi wadah sedalam samudera untuk setiap tetes air mata yang menghujani hatimu. Dan ketika terang kembali menjelang, aku akan menjelma menjadi elang, membawamu terbang lintasi lini waktu, hingga pesta ini usai di hembusan nafas terakhirku.

Hayat dan Riwayat

Di balik tirai, di kejauhan. Ada ruang yang tak bisa dipahami. Entah dalam dimensi yang sama atau tidak, namun banyak yang melihatnya sebagai sebuah utopia. Janji demi janji dituliskan melalui berbagai literatur. Katanya hanya orang-orang terpilih yang bisa melangkah ke dalamnya.

Panggil saja tempat itu rumah, karena mereka bilang "Anggap saja rumah sendiri." Yang paling logis untuk dilakukan adalah panggil pertolongan. Jika bisa menahan selama seumur hidup, tak heran jika banyak yang muntah-muntah pada akhirnya. Bagaimana tidak? Selama maksimal 80 tahun seperti dihempas di atas komidi putar dengan kecepatan konstan, hingga ciptakan ilusi bahwa kita menuju suatu tempat. Padahal kita sama sekali tak bergerak.

Dalam rute abadi komidi putar ini kita sedang memasuki tahapan yang benar-benar aneh. Barang siapa yang bisa mengubah bentuknya menjadi kubus, maka waktu tak akan melahapnya. Yang asanya terputus, akan terhisap jauh sekali ke dalam lembah tanpa cahaya. Terjebak dalam mimpi buruk tanpa akhir, di tengah-tengah kerumunan orang yang berbicara dalam tidurnya. Yang dimaksud adalah mereka yang merasa harus selalu bertindak, ternyata bertanduk.

Beberapa tahun lalu ada yang meramalkan bahwa Tuhan akan bermutasi. Dan kali ini terjadi. Dengan congkak, mengubah yang tak berwujud menjadi sebuah tagar. Menjadi sebuah kisah nyata yang dikonstruksi dalam sebuah berkas presentasi, diubah menjadi naskah yang divisualkan sedemikian rupa. Setiap kali diluncurkan memang ditujukan menjadi sebuah salinan dari sebuah salinan, hingga tak ada orang yang tahu bahwa ada satu kebohongan di antara jutaan salinan tersebut.

Tanduk demi tanduk pun tumbuh dan meruncing ketika sebuah umat tercipta. Lalu mereka 11-12x sehari mengamalkan nilai-nilai dari sebuah kitab yang terdiri dari kode-kode biner. Yang merasa bahwa ini semua hanya omong kosong, akan menempuh dua jalan; bersembunyi hingga waktu yang tak bisa ditentukan, atau mati muda. Yang lain di depan, lain di belakang pun akan tersandung dan jatuh ke dalam rasa sakit akibat sebuah kutipan klise "Semua akan kena batunya pada waktunya."

Yakin Menyambut Ragu

Langit menumpahkan sebuah dadu yang menghantam dada. Angka satu menatapku terlalu dalam, hingga sisi lainnya pudar membisu. Tumpul menimbul, tajam menyerbu, namun selalu berhasil menutup celah. Saat kertas dan pena membelai duka, aku menerka makna dari setiap kilaunya yang sembuhkan luka.

Maka dengan yakin, aku menyambut ragu.

Senyap Meratap

Luka bakar yang sempat melepuh selama beberapa tahun itu, sejujurnya telah padam sejak ratusan hari lalu.

Secara menyeluruh, serangkaian fragmen menyayatnya hingga terkelupas, melampaui lorong waktu tanpa meninggalkan bekas. Bisa dibilang, cukup tuntas mematikan akar memori jangka panjang tentang makna khianat.

Paru-paru ini bisa kembali menghirup udara jernih hasil pemulihan diri. Bebas bernafas tanpa disesaki pecahan cermin yang merefleksikan sesal, sembari bersulang rayakan rasa dan pikiran yang sempat kembali seperti sedia kala.

Rupanya, sayatan itu amat berkilau dan butakan setiap manusia di sekitarnya. Bahkan sinarnya meresap sampai ke dalam hati dan kepala, lalu bersarang hingga kesadaran menolak turun ke alamnya. Kilaunya yang padamkan luka, kini terasa jauh dan menjelma dengan indahnya menjadi luka baru yang masih menganga.

Mungkin semesta harus dibujuk agar jam pasir kembali terhisap, demi kembalikan detik-detik yang terlewatkan untuk menggenggam kilau dengan lebih pasti. Namun semesta tidak bisa diajak berkompromi. Jam pasir pun terhempas hingga berputar tanpa henti, musnahkan segala satuan dan unit waktu.

Sampai detik ini, kilau berdetak mengguncang setiap nadi yang terbenam di balik rapatnya lapisan gerbang lisan ini. Tapi sungguh nikmat jika diresapi. Setiap sayatannya terus berlipat ganda, menajam, dan menghujam semakin dalam hingga pancarkan pilu yang bersemayam tanpa kata, di sudut rongga dada yang lebam membiru.

Ah, alarm sudah berbunyi. Waktunya selimuti pedih akibat kilau yang dicari, dengan segala distraksi berwujud kilau imitasi.

Sekelompok Pemuda Ditemukan Tewas tanpa Identitas

Tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya berselancar di tengah pasang-surut gelombang hari ini. Segala terumbu karang yang terlihat, ditelan bulat-bulat secara serentak. Awas tersedak. Sebaiknya berhati-hati dalam bertindak, terutama jika sambil memantau layar dan melihat sekitar demi sesuaikan diri dengan iklim yang tidak pasti.

Tanpa pijakan, kita sungguh rentan terhempas angin yang dihembuskan oleh para dalang pemilik mesin uang. Kita pun menghindari kebosanan tanpa kenal bosan, menjadi peraga setiap pergerakan yang sedang mengambang di permukaan. Ketika salah satunya tenggelam, jangan lupa bercermin untuk pastikan kita tetap sembarang menyalin agar berhasil menjadi orang lain. Tidak perlu saling mengenal, karena orang lain telah musnah atau berubah, menjadi diri kita.

Siapa yang tidak senang merasakan indahnya tersesat di rumah sendiri? Dengan mata yang dibutakan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bisa ditanyakan ke mana arah jalan pulang. Ucapkan syukur jika masih menggenggam kompas, walaupun telah disabotase oleh sosok yang kita anggap pahlawan perlawanan kekinian; sang juru selamat dengan niat menciptakan keberagaman, namun justru melahirkan keseragaman.

Hari ini adalah titik baliknya. Jika perlawanan terhadap tren telah menjadi sebuah tren, lantas untuk apa melawan keseragaman jika semua menyeragamkan perlawanan? Untuk saat ini, lebih baik mendobrak barikade pemikiran untuk sekadar mengingatkan bahwa sebenarnya kita semua adalah konformis yang kian terkikis, atau mungkin sudah mampus akibat terseret arus.

Rasa Menjadi Dogma

Sejujurnya pintu ini terlalu lapuk untuk diketuk. Namun suara itu terdengar semakin dekat, lalu bergema.

Putih bertamu. "Permisi. Apa benar ini rumah Hitam?"

"Rumahku pergi beberapa tahun lalu. Aku hanya punya pintu." Ujar Hitam sambil menggores engsel pintunya yang berkarat.

Putih berbisik dengan lembut. "Rupanya Biru mengoyakmu begitu dahsyat. Aku ingin mengusirnya."

Hitam mengangguk dan memuntahkan Biru, lalu Putih menghempasnya dengan amat keras hingga melesat jauh menuju angkasa hampa.

Dengan tenteram, mata Hitam terpejam hingga menjadi buta. Namun dengan perlahan,  Putih membuka mata hatinya. Hitam dan Putih kini telah bias menjadi Abu-abu.

Dalam tatapan, mereka berkaca. Dalam hembusan, rasa menjadi dogma.