Senyap Meratap

Luka bakar yang sempat melepuh selama beberapa tahun itu, sejujurnya telah padam sejak ratusan hari lalu.

Secara menyeluruh, serangkaian fragmen menyayatnya hingga terkelupas, melampaui lorong waktu tanpa meninggalkan bekas. Bisa dibilang, cukup tuntas mematikan akar memori jangka panjang tentang makna khianat.

Paru-paru ini bisa kembali menghirup udara jernih hasil pemulihan diri. Bebas bernafas tanpa disesaki pecahan cermin yang merefleksikan sesal, sembari bersulang rayakan rasa dan pikiran yang sempat kembali seperti sedia kala.

Rupanya, sayatan itu amat berkilau dan butakan setiap manusia di sekitarnya. Bahkan sinarnya meresap sampai ke dalam hati dan kepala, lalu bersarang hingga kesadaran menolak turun ke alamnya. Kilaunya yang padamkan luka, kini terasa jauh dan menjelma dengan indahnya menjadi luka baru yang masih menganga.

Mungkin semesta harus dibujuk agar jam pasir kembali terhisap, demi kembalikan detik-detik yang terlewatkan untuk menggenggam kilau dengan lebih pasti. Namun semesta tidak bisa diajak berkompromi. Jam pasir pun terhempas hingga berputar tanpa henti, musnahkan segala satuan dan unit waktu.

Sampai detik ini, kilau berdetak mengguncang setiap nadi yang terbenam di balik rapatnya lapisan gerbang lisan ini. Tapi sungguh nikmat jika diresapi. Setiap sayatannya terus berlipat ganda, menajam, dan menghujam semakin dalam hingga pancarkan pilu yang bersemayam tanpa kata, di sudut rongga dada yang lebam membiru.

Ah, alarm sudah berbunyi. Waktunya selimuti pedih akibat kilau yang dicari, dengan segala distraksi berwujud kilau imitasi.